Monday 26 April 2010

THE LOVE DEITY: Jauhnya Cinta

Judul yang aneh...mungkin itu yang terlintas pertama saat membaca artikel ini. Saya pun juga merasa aneh saat menemukan kata-kata itu “the love deity”... apakah istilah ini bisa dipakai untuk si Cupid? Kalau si Cupid sih saya rada-rada kenal, soalnya kan sering ditulis-tulis dikulit-kulit pohon di taman atau dibatu-batu gede dipinggiran kali oleh pasangan-pasangan yang sedang dimabuk cinta (ini sepertinya berlebihan deh!!...). Nah, kalo si “love deity” ini, sepertinya baru kenal. Beberapa hari yang lalu persisnya. Apakah karena vocab bahasa Inggris saya yang ancur yaa?? atau emang kami belum saling kenal?? (hehe..).

Anyway, saya ambil judul ini karena saya pikir, saya perlu menghimpun beberapa episode cerita cinta seorang teman (disuatu tempat yang dirahasiakan...hehe!!). Perhaps, sepertinya agak berlebihan karena saya sama sekali belum meminta izin resmi kepada beliau..tetapi karena ide ini harus segera ditulis (biar ga keburu hilang), maka mengenai izin, belakangan saja saya pikir.. As I was saying, cerita ini tentang kisah cinta seorang teman yang sebenarnya awal-awal dia sulit mengkategorikan kalo sebenarnya ini kisah cinta. Setelah beberapa bulan ngadain sesi konsultasi melalui skype, ternyata kita berdua menyimpulkan bahwa ini adalah cerita cinta...lebih tepatnya cerita cinta yang ‘tragis’ dan penuh dengan deraian air mata.. (terlalu berlebihan ga ya??). Tapi it’s true!! Maksudnya uraian air mata..it’s true!!

Once upon a time, ini label-nya Disney’s movies, tak seperti cerita biasanya. Segala sesuatunya dimulai dengan ketidaksengajaan. Memulai cerita ringan dengan ‘say hello’ di akhir pekan setelah selama satu minggu berkawan dengan buku dan literatur English (jujur, saya butuh satu minggu untuk baca dua literatur kuliah saya selama seminggu...hehe). Selanjutnya kita memulai dengan sesi ‘curhat’ berbagi cerita. Karena saya orang yang lebih suka mendengar, maka saya hanya mendengarkan kisah dari seberang sana, tentang perasaan seorang wanita yang terabaikan dan terlupakan (berlebihan lagi deh!!)...hehe.

Kisah ini pada dasarnya adalah cerita betapa sulitnya menjalani dan menjaga hubungan ‘percintaan’ jarak jauh. Segala sesuatu menjadi tidak pasti dan menimbulkan pertanyaan tak terjawab mana kala sebuah kabar dari seberang tidak pernah lagi mengisi ruang ‘chatting’ (soalnya kontak selalu dilakukan secara online..). Dugaan yang pada akhirnya berujung kepada sangkaan provokatif menjadi teman setia sang teman. Misalnya pertanyaan awal hanya berkisar; Kenapa ya?? Ada apa ya??atau Koq ga online ya?... Kemudian karena pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab, maka segera berubah menjadi sangkaan provokatif; Pasti ada yang lain?? Cewek yang di FB dia pasti ada apa-apanya!! Pantesan ga pernah kasih kabar, soalnya sedang sibuk sama cewek laen siihhh!!atau Apa salah gw sampe dibuat begini...kalo emang ga mau lagi, ya udah nih gw skalian apus deh nama dia di YM gw...(hehe.. sadis banget deh!!!).

Yah...begitulah, sulitnya berhubungan jarak jauh begini. Perbedaan waktu dan tempat yang mencolok antara teman dan sang lelaki-nya menjadi sebuah alasan yang sangat sering digunakan untuk pemutusan hubungan sepihak atau kedua belah pihak. Saya pikir sih mungkin emang seperti itu adanya. Emang sih banyak yang menganggap jarak tidak dapat menjadi alasan untuk putusnya suahu hubungan percintaan yang suci (hiks...). Namun yang namanya kontak reguler secara fisik (Nah..untuk point ini jangan negatif dulu pikirannya!!!) itu sangat penting dan menjadi faktor penentu langgengnya suatu hubungan.. Saya akan menjelaskan istilah ‘kontak reguler secara fisik’ yang saya gunakan sebelumnya. Maksudnya adalah kontak dengan menggunakan ‘Indera’ manusia, seperti mata (melihat; langsung dan tak langsung), telinga (mendengar; seperti melalui telepon), dan lain-lain (saya sulit untuk mengatakan bagian Indera yang lain. Sulit menterjemahkannya tanpa meninggalkan kesan ‘negatif’ dalam benak pembaca...hehe...kulit, lidah dan hidung!!). Kalaupun ada hubungan jarak jauh yang langgeng sampe akhirnya bertemu kembali, itu hanyalah sedikit jumlahnya.. masih bisa dihitung dengan jari (jari 5000 orang...hehe).

So, dimana bagian gender-nya pada cerita ini?? Kerena saya emang setiap minggunya punya sesi gender di kelas, jadi pertanyaan ini selalu muncul dari tutor saya apabila saya memberi tanggapan atas kuliahnya dan bercerita tentang Indonesia dalam versi saya...hehe.. Menurut saya, disini sangat kental nuansa gender-nya. Perempuan yang selama ini berada pada posisi menunggu dan pasif, seperti yang menjadi stigma di dalam masyarakat selama ini, menjadi kendala adanya hubungan cinta yang seimbang. Keputusan ‘harus selalu’ datang dari laki-laki dan itulah yang ditunggu oleh perempuan. Jika suatu ketika sang lelaki tidak kunjung memberi kabar atau keputusan, bagaimana dengan sang perempuan? Menunggu dan terombang-ambing?? Sebegitubesarkah ‘rasa’ ketergantungan itu, sehingga perempuan harus selalu dalam posisi menanti?? Bagaimana jika posisi ini dibalik, atau setidaknya perempuan tidak perlu menunggu dan weigh up mengambil inisiatif yang kemudian dikomunikasikan kepada sang lelaki?? Kelihatannya ‘not bad’... setidak-tidaknya perempuan tidak perlu menghabisakan energi dan waktu hanya untuk menunggu.. begitukah??

Perempuan perlu mengambil sikap atas ke-absen-an lelaki dari ruang lingkup mereka, sehingga stigma ‘menunggu dan pasif’ yang melekat pada ‘identitas’ perempuan dapat diperbaruhi menjadi ‘inisiatif dan aktif’. Saya tidak bermaksud untuk mengeliminir peran lelaki dalam konteks hubungan normal dan natural dengan perempuan. Namun hanya berusaha memahami konteks bagaimana jika perempuan memiliki peran yang sama http://www.only-apartments.com/images/lisbonMe/relaciones-a-distancia.jpgdengan lelaki. Okeh...saya selalu meyakini bahwa lelaki dan perempuan memiliki fungsi dan peranan yang berbeda, namun mereka memiliki kedudukan yang sama (tentu saja dalam hal tertentu, misalnya dalam Islam, ada hal-hal yang dianggap tidak ‘boleh’ sama). Namun seperti Evelyn Blackwood katakan bahwa 'gender remains a problematic concept" (1999:182) dan dalam hal ini, kadang kala memang sulit memahami kesejajaran peran yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.

Anyway, cerita cinta sang teman ini hanya intermezo kecil dari keseharian saya di Ashurst musim dingin ini. Mungkin emang teman saya membutuhkan sang ‘the love deity’ supaya cintanya bisa terjaga utuh dengan sang kekasih ATAU memberikan cinta lain yang lebih manis dan bermakna... I hope so!!

Mungkin tulisan saya belum lengkap dan banyak ngawurnya sana sini. Tapi saya harus ke tempat teman untuk memenuhi undangan supper (makan-makan pastinya..) yang sangat sayang jika diabaikan...hehe...

Ashurst Road
Brighton - UK


Source :
Evelyn Blackwood (1999) Tombois in West Sumatra: constructing masculinity and erotic desire. In Evelyn Blackwood and Saskia E. Wieringa, Female Desire: same-sex relations and transgender practices across cultures. New York: Columbia University Press.

Pictures:
http://www.google.com/imgres?imgurl=http://www.toonpool.com/user/5817
http://mossavi.files.wordpress.com/2009/07/missing-person.jpg

No comments:

Post a Comment