Saturday 2 July 2011

The Travellers


Betul kata orang tua dahulu bahwa mencari 1000 musuh lebih mudah daripada mencari seorang teman. Hanya dengan satu kata, kita dapat mendatangkan lebih dari satu musuh. Dan sebaliknya, kita memerlukan ribuan kata dalam rentang waktu yang tidak sebentar, belum tentu kita dapat mendatangkan satu orang teman.
Namun, apabila telah datang kepadamu seorang teman, jangan pernah berhitung berapa banyak hal yang telah kau lakukan untuknya, karena boleh jadi apa yang telah kau berikan tidak sebanding nilainya dengan apa yang diberikan oleh temanmu.
Aq jadi teringat apa yang diucapkan seorang teman lama yang baik hati (aq selalu ingin menjadi temannya sejak pertama kali berjumpa dan itulah yang terjadi hingga akhir hidupnya beberapa tahun yang lalu). Suatu hari saat dia memberikan sesuatu dan dilain hari pemberian itu aq ganti, dia berkata dengan nada yang ‘agak’ tinggi: ‘…jangan terlalu perhitungan dengan teman…’. Tentu saja, dengan sedikit malu aq hanya dapat mengatakan bahwa aq memberi bukan berarti aq mengganti apa yang telah aq terima (atau apakah ini hanya alasanku saja untuk menutupi malu??).
Jadi, apa yang ingin aq sampaikan dalam tulisan ini adalah aq ingin meyakinkan diriku sendiri (berulang-ulang) bahwa apa yang telah kuberikan kepada seseorang merupakan pemberian yang tidak kuinginkan balasannya (dari sang teman). Aq (ingin) percayai apa yang telah (ikhlas) diberikan kepada orang lain semata-mata hanya mengharap ridho Allah. Untuk itu, apa perlu kita berhitung-hitung berapa banyak materi yang diberi kepada seorang teman, jika kita bisa mendapatkan ‘balasan’ yang lebih besar dan lebih bernilai dari Sang Pemilik Alam?? 
Anyway, menjadi seorang teman kadang kala menyenangkan, namun ada juga tidak nyamannya. Terlebih jika mempunya i teman yang berbeda latar belakang sosial dan budaya. Sehubungan dengan hal ini, beberapa hari yang lalu (11 Juni 2011) sepasang ‘teman’ Inggris berkunjung ke rumah. Sebenarnya kami sama sekali belum pernah bertemu, terutama saat aq masih di Brighton. Salah seorang dari mereka adalah putri bungsu dosen (tutor) Bahasa Inggris-ku di the University of Sussex, Inggris saat aq berkuliah disana. Sang dosen sebelumnya telah pernah menetap di Indonesia (Jakarta dan Bandung) pada tahun 1980an, namun sang bungsu baru menampakkan diri di muka bumi saat sang dosen bertugas di Swedia beberapa tahun kemudian. Jadi (tentu saja), menurut sang bungsu, dari ketiga orang anak sang dosen, hanya dia yang belum pernah sama sekali menjejakkan kaki di Indonesia. Ini merupakan alasan yang bagus untuk menyusun rencana akan sebuah petualangan menegangkan ke Indonesia di musim Summer!! hmmm… (lebay mode on)!!
Setelah melalui kiriman beberapa email untuk sekedar pedekate, kami bertemu di bandara setelah aq menunggu penerbangan mereka mendarat dari Padang. Kupikir ini pertemuan yang tidak terlalu hangat, namun juga tidak terlalu kaku mengingat ini adalah pertemuan kami untuk pertama kali. Seperti biasa, aq agak sedikit risih dengan tatapan ‘tajam’ orang-orang disekeliling kami…hiiiii….
Seperti rencana awal (dan setelahnya aq menyesali rencana ini), kami menuju Monas sebagai tempat pertama kunjungan kami. Sepanjang perjalanan, pembicaraan terbuka antara aq dan cewek bule mulai terjalin; tentang perjalannya dengan sang cowok ke Malaysia, Medan dan Padang, tentang sekolahnya, tentang ibunya (pasti), tentang risetku, tentang rencana tes bahasa Inggris-ku minggu depan, tentang sakit perut yang dia dan cowoknya dapat waktu hiking di Gunung Lawang, tentang terima kasihnya atas tempat tinggal di Jakarta ini, dan lain-lain.
Ice (cream) was broken dan kami sudah mulai ‘berteman’ walaupun setelahnya aq tidak dapat menjelaskan lebih banyak tentang Jakarta selain ‘traffic jam’ dan ‘hot weather’. Agak sedikit khawatir melihat mereka berdua harus ‘memikul’ beban ransel yang super gede sambil keliling Monas (dan kemudian ke Istiqlal).
Namun kuakui, mereka memang layak dilabelin ‘the true travellers’… karena setiap kali kutanya ‘are you OK with the huge backpack?’ sang cewek bule selalu berkata ‘it’s fine atau I’m OK…’. Padahal aq yang cuma bawa ransel kecil yang tidak terlalu padat isinya aja sudah ‘ngos-ngosan’ jalan dari Monas ke Istiqlal!! Nah lho!! Heran bercampur kagum bergelimpangan deh di hati. Cewek super!! Bahkan ransel-nya lebih berat daripada bobot badannya sendiri, tapi tetap fine-fine aja…
Namun saat keesokan harinya saat kami jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), aq sudah tentu tidak melihat lagi ransel-ransel super gede dipunggung mereka. Para ransel sudah diistirahatkan sebentar di rumah dan sang pemiliks bebas melenggak-lenggok tanpa beban berat dipunggung saat menyusuri rumah-rumah tradisional di TMII. Sambil keliling-keliling, kami bertiga mulai berdiskusi hangat tentang banyak hal. Dimulai dengan perbincangan tentang seksualitas, pernikahan, hubungan antar teman atau pacar, homoseksualitas, dan lain-lain (dan sangat mengherankan kami tidak membicarakan tentang budaya dan adat istiadat daerah-daerah di Indonesia padahal kami mengunjungi miniatur rumah-rumah tradisional). 


Diskusi kami bahkan berlanjut di kursi taman lantai 3 di rumah sambil menunggu azan Maghrib. Disini, kehidupan sosial keagamaan dan Muslim dress code mulai dibahas; mengapa anak kecil banyak yang sudah pake’ headscraft? Mengapa ada perempuan Muslim yang pake Burqa? Apakah di Indonesia Burqa merupakan tradisi? Mengapa alkohol haram bagi Muslim? Apa pengaruh alkohol terhadap kehidupan remaja? Mengapa aq ga nyaman jika lawan bicaraku menggunakan sun-glasses? Apakah berbicara dengan perempuan yang menggunakan sun-glasses sama dengan perempuan ber-Burqa? Apakah memakai jilbab ga merasa kepanasan, apalagi di daerah tropis seperti di Indonesia? Mengapa aq menggunakan jilbab di rumah?.... dan banyak hal lain yang dibicarakan sehingga kami menghabiskan hampir 3 jam di kebun.
Betewe, my English traveller friends ini memang baik banget… bahkan waktu di rumah, si cowok mau minum aja musti sempet-sempetin minta izin ‘may I?’ sambil ngambil satu gelas minuman mineral… Trus mau mandi aja bilang ‘can I take shower, please? hehe… Walaupun orang Indonesia super ramah, tapi ga perlu sampe minta izin lah untuk mandi atau minum. Tuan rumah kan jadi salting!! Lagian kan orang Indo punya prinsip ‘anggap aja seperti rumah sendiri’. Jadi yaaaa…bebas-bebas aja laaahh!!
Namun, seperti apa yang ibu-nya sudah sampaikan, ini adalah pengalaman pertama si cewek bule dan cowoknya tinggal dan membaur dengan satu keluarga di Indonesia (eh..dia kan baru pertama kali ke Indo..hehe). Pengalaman pertama merasakan ‘aura’ dan suasana kehidupan tradisional sebuah keluarga Muslim di Jakarta; mendengar suara Adzan (terutama Maghrib, Isya dan Subuh); melihat anak Muslim bergegas menunaikan sholat atau belajar ngaji, melihat ibu rumah tangga Indo yang sibuk menyiapkan makan malam atau sarapan, nonton sinetron Indo yang aktor-aktornya saling membelalakkan mata (sang cowok bule sempat berkata; I’ve never seen soup opera like this. The actors are so expressive with their eyes!! Nah lho…!). Ini pengalaman baru bagi mereka. Apalagi saat aq membawa mereka ke pusat grosir di Cipulir.
Awalnya si cewek bule hanya ingin membelikan sesuatu untuk ibu-nya (dia selalu menyebut nama ibu-nya, Rachel, bila berbicara denganku dan aq selalu mengatakan ‘your mother’ untuk menyebut ibu-nya. Disini, terkadang aq berpikir, terjadi ‘sedikit’ benturan budaya dimana bagiku siapa pun orangnya dan berasal darimana pun dia, senioritas dan ke-tua-an seseorang tetap diletakkan pada posisi yang lebih tinggi sesuai dengan tata karma ke-timur-an. Seringkali aq merasa menyebut ‘your mother’ lebih nyaman daripada menyebut ‘Rachel’, walaupun aq selalu menyebut nama untuk orang yang lebih tua, misalnya kepada para tutor ataupun landlord, saat masih berada di Brighton. Inipun kupikir karena lingkungan yang forced me untuk melakukannya. Of course, aq juga sangat sulit untuk mencari padanan kata ‘panggilan atau sapaan’ yang berasal dari Bahasa Indonesia di dalam vocabulary Bahasa Inggris-ku).
Jadi, mengingat waktu dan suasana jalan di Jakarta, kami memutuskan untuk ke Cipulir mencari gift untuk Rachel sepulangnya kami dari TMII (si cowok bule agak sedikit enggan saat pertama kali kami ingin pergi ke pusat perbelanjaan…biasalaaahh, cowok sih!! Suka meringis kalo sudah mendengar kata ‘shopping’…hehe). Si cewek bule ternyata ingin membelikan batik untuk sang ibu. Yaaahh…walaupun Jakarta bukan produsen Batik seperti Yogya atau Solo atau Semarang atau Pekalongan, tapi untuk urusan harga (setelah dibandingkan dengan Yogya), Jakarta masih unggul jauh… Ditempat langganan Batik di Cipulir, harga baju Batik kualitas bagus masih lumayan murah dan terjangkau bagi kantong turis pelajar seperti teman-teman bule ini. How much? Fifty thousand! OK, I take it… Untuk urusan motif atau corak warna, Batik di Cipulir ga jauh beda dengan di Beringharjo-Yogya. Bukan rahasia lagi kalo batik-batik di Jakarta ini sebagian besar berasal dari usaha konveksi diseputaran Jabotabek. Jadi, untuk urusan harga, corak, model dan ukuran baju para pelanggan ga perlu khawatir dan ga perlu merasa rugi. Buktinya si para bule enjoy banget pas milih-milih Batik disini. Walaupun sekali tertarik dengan satu potong kemeja biru tapi akhirnya ga jadi beli karena kemahalan (how much? One hundred and fifty thousand! Oh no, too expensive. I take another!!), para bule melebarkan sayap pembelian dari ‘a gift for Rachel’ ke ‘I want buy one for my father’ atau ‘is it nice for me?’…. from one to six…hehe (for her, her mother, her father, his, his mother, his father).  
To be honest, aq kagum banget dengan temen-temen bule ini. Dan hal ini aq ceritakan ke ponakan Fauzan Ndut. Mereka masih muda tapi berani mengambil resiko mengunjungi belahan dunia lain dengan bermodalkan pinjaman uang di bank (mereka membayarnya dengan gaji hasil kerja di charity satu minggu setelah tiba di Inggris) untuk membiayai semua biaya perjalanan mereka; tiket pesawat, penginapan, makanan dan transportasi lokal serta souvenir. Mereka mengambil resiko itu dengan harapan mendapatkan sesuatu yang lebih dan tidak ternilai dari petualangan mereka. Sehingga aq merasa begitu senang menjadi bagian dari petualangan mereka dan memberi bantuan kecil dengan menyediakan penginapan bagi mereka di Jakarta.    
Aq selalu mengatakan kepada semua teman-temanku; di kelas Gender, di IDS atau di Sussex atau dimana saja sebelum kami berpisah di Brighton; Don’t hesitate to let me know, whenever, you visiting Indonesia. I am happy to see you in Indonesia…
Pertemanan dan persahabatan (hendaknya) tidak mengenal batas budaya, usia, agama dan kelas sosial. Bila mereka datang kepadamu, jangan katakan ‘I want to reply your visiting’. Namun katakanlah ‘Hey, don’t say good bye coz you’ve just arrived at my home’…. Bingung deh!! Hehe….